Selasa, 30 November 2010

Aku Menikmati Perasaan Ini

Aku menikmati perasaan ini.
Mimpi yang indah….
Alur tak lagi menjadi penting untuk diceritakan.
Tapi rasa menikmati dicintai, disayang , diperhatikan, dicemburui….
Membuat aku ingin menjadi muda lagi.
Kembali di tahun-tahun awal kehidupan.

Tuhan…
Laki-laki itu tampak baik sekali.
Dan adiknya, meskipun bengal, dia sayang dan mau mengerti bahwa kami harus mengalihkan rasa sayang antara laki-laki dan perempuan, menjadi rasa sayang antara kakak dan adik.

Dan...
Siapa perempuan itu,
Yang menggoda kami, dan tahu bahwa kami punya benang merah...

Dalam mimpi,
Jika aku sudah bertemu pangeranku...
Apakah lalu kami menikah...

Jika dalam mimpi menikah,
Artinya aku akan segera hidup bahagia
Forever......


Lalu Ara dan ibu?


(biarkan aku menikmati pelukmu yang hanya penuh dengan rasa sayang itu...
Tak sedikitpun keinginanku untuk menodai pernikahan yang sudah aku jalani, dengan nafsu dan keinginan untuk bersatu dalam tubuh ragawi...)

Rabu 1 Desember 2010, 03.00 pagi.

Selasa, 23 November 2010

Klakson

Duduk di belakang kemudi, menunggu saat lonceng berbunyi membubarkan kelas anak.

Lalu lintas ramai di samping jendela.

Pejalan kaki melintas di sisi kiri. Wajah-wajah dengan ekspresi yang sama, mata berkerut menahan silau, mulut tak tersenyum, dan sikap bermusuhan pada sesama pengguna jalan.

Becak dikayuh seperti jalan lengang bebas hambatan.

Motor menderu memacu gasnya seperti dikejar hantu panas yang semakin hari semakin membakar aspal jalan saja.

Sementara mobil ribut dengan irama klakson yang beraneka ragam suaranya.

Dot....dot....

Tet....Tet.....

Dung..... dung.....

Bum.....Bum....

Kwak....kwak.....

Mengamati mobil yang ribut menjadi keasyikan tersendiri.

Ada mobil yang berjalan dengan irama deeeeeettttt ngik.... deeeeetttttt ngik.....

Yang lain wuzzzzzzzzzz ciiiiiitttttttt.......

Beberapa engengengengengengeng smoooothhh....

Klakson pun dibunyikan tergantung tipe pengendaranya....

  1. Dibunyikan karena mengingatkan bahwa dia ada dibelakang : Dot
  2. Dibunyikan karena dia terburu-buru : Dot....Dot
  3. Dibunyikan karena pengendaranya mahluk egois yang ingin semua orang tahu dia ada disana: Dot....Dot....Dot....Dot..... (dimana saja kapan saja)

Kerikil Lagi

Seminggu aku didhawuhi nelpon ping piro to? Apa malah kudu saben ndina?”

SMS itu masuk, berjejalan setelah sehari penuh handphone kumatikan.

Uap panas dari lambung menyodok kesadaranku.

Mataku tiba-tiba berkabut, dan dadaku tiba-tiba menjadi seperti gunung merapi di tanggal 26 waktu itu.

Aku masuk ke mobil yang terparkir di garasi.

Tidak kunyalakan. Hanya kututup semua pintu, kurebahkan kursi dan aku diam menanti.

Kemana mau kubawa jiwa ini.

Sebuah suara melintas ”Kamu akan terus bertahan?”. Tapi suara yang lain menyahut ketus ”Tentu!!!!! Demi anakku.....”. Ya... karena hanya itu alasannya.

Anakku berteriak menggedor pintu.

Cepat!!!!

Susut airmatamu.

Buat senyum indah di mulutmu.

Jangan sampai si kecil tahu.

Bahwa sedang gundah hatimu....

Tapi aku tak berhasil.

Gadis 5 tahun itu sempat bertanya

”ibu tak apa apa kan”

Lalu bergaya samson, aku angkat dua tanganku

”I am okey, girlllll..... Come on… lets go….”

Aku pegang handphone itu.

Dengan manis kubalas smsnya

Sajake aku menuntut terlalu banyak….. yo MAAF…

Senin, 19 Juli 2010

Siapa Pendidik... Mendidik Siapa.... (Bagian Pertama Sebuah Trilogi)

Trilogi ini terpikir, karena tiga kejadian yang terjadi di minggu ini...

Bagian Pertama
(anak-anak jaman, anakku yang harus kutemukan....)



Note :
Mohon maaf, bila di tulisan bagian pertama ini akan banyak kata yang mungkin tidak sepantasnya...
Tapi itulah realitas yang tertangkap ketika mata dan telinga tak bisa lagi berpura-pura buta dan tuli ...

Pintu keluar rumahku menghadap ke dua sisi : timur dan selatan..
Pintu yang menghadap ke timur, adalah pintu untuk beraktivitas sehari-hari.
Berangkat pulang sekolah, ke pasar, menyapu, bertetangga dan kegiatan rutin lainnya...
Pintu selatan, lebih menjadi pintu darurat. Hanya dibuka ketika Ara ingin melihat anak-anak bermain bola, atau menyiram sepetak kebun yang hanya diingat ketika bau debu mulai menjadi biang keladi batuk keluarga kami...

Dimalam hari, sisi luar pintu selatan yang bertangga dua langkah itu, selalu menjadi tempat berkumpul anak-anak remaja tanggung. Apa yang mereka lakukan disana, hanya tertangkap telinga lewat suara yang ditimbulkan. Terkadang suara itu merdu, oleh nyanyian ST12 yang mereka lantunkan. Tapi lebih sering suara sumbang yang muncul. Contohnya :

"J**C*K!!! B***G**E!!Si X mau marani aku. H*J**G*K tenan, mau mbengi wis t*** karo Eni!!Padahal aku wis janjian karo Eni, suk malem minggu nonton ndangdut ning lapangan XXX!!! A*U tenan!!!"

Suara itu bukan keluar dari mulut lelaki dewasa. Suara itu muncul dari getaran pita suara peralihan remaja akil balik yang sepertinya baru saja lulus pendidikan dasarnya (SD).

Mengapa aku mesti menguping? Karena di suatu waktu, ketika aku sedang mengambil persediaan gula dari lemari yang ada di sisi dalam pintu itu, aku mendengar desah yang tidak sewajarnya disana. Sesudah aku meminta Ara untuk menonton Barney di ruang dalam (Ara protes karena dia menonton di jam yang dilarang pak Gurunya...), pelan-pelan aku buka pintu itu. Tiba-tiba berlarilah sepasang remaja laki & perempuan, berlari menuju kebun kosong di sisi lain lapangan samping rumah. Umur mereka sepantaran, kira-kira 12 tahunan... Karena kaget, aku berteriak terlalu keras. Imbasnya, esok malamnya, keluarga kami diganggu oleh gedoran pintu yang kalau dibuka, menghambur remaja-remaja belasan tahun sambil berteriak-teriak tak jelas ucapannya.

Lain waktu, suatu pagi setelah melewati satu malam tanpa tidur yang cukup karena keramaian di balik pintu selatan. Aku memutuskan untuk membersihkan ranting-ranting pohon yang menutup pintu darurat. Dan VOILA!!! Kutemukan tiga sloki kosong berbau menyengat dan beberapa botol juga kosong. Barangkali ditinggalkan oleh para remaja tanggung itu, karena Pak RT tiba-tiba datang setelah menerima sms keluhan di dini hari jam 1 pagi.

Maka demi kedamaian, kuputuskan untuk meminta pemasangan lampu merkuri di ujung jalan tempat pintu darurat tersebut berada. Untuk sesaat suasana menjadi damai. Tapi tak urung, pikiranku tak pernah bisa berhenti berpikir, kemana anak-anak itu berada. Biasanya mereka mulai berkumpul ketika jarum jam bergeser dari pukul enam. Mereka datang dari beberapa penjuru. Sekitar enam remaja laki-laki dan biasanya dua remaja perempuan. Usianya berkisar 12 sampai 16 tahun.

Kemana bapak ibu mereka? Sekolahkan mereka? Dimana rumah mereka? Mau jadi apa mereka nanti? Dan beribu pertanyaan lainnya. Pertanyaan lanjutan... Bagaimana aku bisa menjaga Ara dari situasi seperti itu? Bagaimana aku bisa memastikan gadis kecilku selalu berada dalam jalur yang disetujui oleh norma, agama dan cita-cita mereka?

Suasana damai tidak berlangsung lama. Seminggu dari pemasangan lampu mercuri, sekumpulan remaja malah semakin banyak merubung seperti laron. Mereka datang dengan perangkat musik gitar, kencrengan, hp mp3, dsb. Suasana hingar bingar terdengar sampai ke balik pintu selatan lagi. Bahkan tampaknya melebar sampai sisi dapur dibagian belakang. Cerita-cerita yang dibawa pun makin beragam. Ada yang bercerita tentang gadis-gadis sebuah SMP negeri yang katanya lebih cantik-cantik dari SMP lainnya. Ada juga yang bercerita tentang seorang gadis yang membuka kerudungnya setelah lewat jam sekolah. (Pertanyaan yang terlontar agak membuat telingaku memanas "opo gede koq ndadak ditutupi?"). Sampai lontaran suara seorang anak laki-laki yang bahkan belum berubah getar pita suaranya "Cangk****, ayo ndang lunga tuku C*U".

Duh Gusti... Anakku.... mereka juga anak-anakku... anak-anak jaman bagian dari tanggung jawab kita. Lantas apa yang bisa kulakukan untuk mereka.
Ketika aku bertanya tentang seorang pendidik, Tuhan mengirimkan jawaban itu lewat mulut mereka.
"K*****A**R!!! Aku mau dikongkon pak X. Ra Su*i to aku!! Bapakku wae ra tau kongkon je...."
Seorang guru meminta muridnya melakukan sesuatu, dan seperti itu pemberontakan mereka.

Darimana lingkaran itu berawal dan berakhir. Orangtua-anak-guru. Aku memutuskan untuk pelan-pelan mendekati mereka. Jam 9 malam, aku buka pintu selatan. Mereka menghambur sambil beberapa berteriak "Ra Sah Wedi!!!". Tapi kutunggu semenit, dua menit sampai sepuluh menit mereka tetap saja tak berani mengambil sepeda dan perlengkapan2 yang tertinggal di tangga pintu. Begitu aku menutup pintu, baru aku dengar suara mereka memunguti barang-barang yang tertinggal.

Akhirnya, setiap jam 9 malam, kalau ku dengar masih ada suara anak-anak berkumpul di pintu itu, aku pasti membuka pintu sambil memasang senyum termanis. Lalu dengan malu-malu mereka mengambil sepedanya, lalu menghambur, dan baru berani berteriak setelah jaraknya sejauh sekian kayuhan sepedanya.

Tetapi pada suatu malam, tiga puluh menit sebelum jam aku membuka pintu. Aku mendengar suara laki-laki kecil berkata :
" Tik... mulih o.... sedilit meneh ibu kene mbuka lawang..."
sebuah suara gadis muda yang dipanggil Tik tadi menyahut.
"Emoh!!! Aku bareng kowe..."
"Mulih o sik to...."
"MOH!!!! kenapa kowe ngusir aku?!" katanya sengit.
"Yo ra po2.... Ning mulih o.... "
Entah dengan alasan apa pria muda tadi memaksa gadis kecil itu pulang lebih dulu...
Tapi jawaban dari sang gadis, tiba-tiba membuat air mataku meluruh pelan...

"EMOH!!! Ngopo aku mulih... wong tekan ngomah aku yo mung ditinggal ibuku SMS an...."

Sala, 18 Juli 2010
Bagian ke dua : tentang datangnya Kartu Insentif Anak

Kamis, 29 April 2010

25 April 2010

Woman in the Mirror, If you wanna make a change, take a look at yourself and make that change........
l

Selasa, 17 November 2009

Musim Hujan Sudah Datang.... Saatnya Menulis Lagi...

Pre :

Mbak lagi ngapain? Nulis ya?
Nggak lah... akhir-akhir ini gak ada ide...
Lah, idenya lagi kemana mba?
Lagi ilang digondhol itung-itungan ....

Batang Tubuh :

Itulah sepenggal percakapan tadi pagi, ketika seorang teman menyapaku di ruang maya
Sapaan yang mengusik sesungguhnya...
Tapi hanya bertahan lima belas menit,
lalu tertutup kepanikan menyiapkan sarapan, baju seragam anak, sangu yang belum dibeli,
termangu sejenak melihat note yang tertempel magnet di pintu lemari es
"Besok Pagi Bayar Listrik sekian ratus Ribu"
Hmmmmmm......

Penutup

Untung hujan sudah datang..
Bosan menonton sandiwara TV yang tak selesai-selesai
Bosan menonton para petinggi yang cengengesan
mempermainkan perasaan para penonton kisahnya
Tiba-tiba jariku rindu memukul tuts keyboard komputerku.
Secangkir kopi menemani,
membangunkan diri dari koma yang panjang
jeda yang seperti tak ingin berhenti
Ara...
ibumu ingin menulis lagi...

Minggu, 02 Agustus 2009

Minggu 02 Agustus 2009

Hidup ini singkat?
Begitu?
Seminggu penuh kekhawatiran tidak beralasan.
Ditutup dengan suara jernih "Besok pagi kamu akan pakai kain... kafan"
di Minggu 02 Agustus 2009 pagi menjelang adzan.
Dalam kekhawatiran, yang aku pikirkan cuma Ara dan eyangnya.
Begitu berartikah aku untuk mereka?
Haruskah aku memperjuangkan hidup,
meminta lagi perpanjangan waktu,
untuk mereka.
Hanya mereka....
Ya Allah,
tidak ada ketakutan apapun.
Bahkan bahagia yang aku siapkan...
Dari dulu aku minta Housen, Coza, Coki, Brenda, Brindil yang akan menyambutku
ketika waktunya tiba....
Tapi bagaimana dengan Ara?
Aku memang bukan yang terbaik,
tapi aku punya cita-cita dan keinginan memberi warna yang banyak padanya.
Hingga dia punya kemampuan untuk menentukan,
warna apa yang dipilihnya...
SMS ku tidak terbalas.
Kekhawatiranku tidak beralasan.
Kecuali mungkin muncul karena banyak hal yang terjadi belakangan ini.
Ya Allah,
yang terbaik yang aku minta darimu.
Tapi jika aku boleh memilih, beri aku waktu lagi
untuk menemani ibu, anak dan suamiku...
Menjalani hari-hari berwarna....
Semoga kafan itu untuk membungkus semua keburukan dan kesialan,
yang selama ini menemani.
Dan matahari, terang, cahaya menanti didepan sana...
Amin....